|
NENENG DESI SUSANTI |
BAGIAN HARTA WARIS BAGI AHLI WARIS YANG DIANGGAP
HILANG (MAFQUD)
Kata Mafqud dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar
Faqada yang berarti hilang. Menurut para Faradhiyun Mafqud itu diartikan dengan
orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui
domisilinya, dan tidak diketahui tentang hidup dan matinya. Selain itu, ada
yang mengartikan Mafqud sebagai orang yang tidak ada kabarnya, dan tidak
diketahui apakah ia masih hidup atau sudan meninggal.
Dalam pembahasan ulama fikih, penentuan status bagi
Mafqud, apakah ia masih hidup atau telah wafat amatlah penting, karena menyangkut
beberapa hak dan kewajiban dari si Mafqud tersebut serta hak dan kewajiban
keluarganya sendiri.
Pandangan ulama fikih dan dasar hukum yang mengatur
Mafqud
Dalam menetapkan status bagi mafqud (apakah ia masih
hidup atau tidak), para ulama fikih cenderung memandangnya dari segi positif,
yaitu dengan menganggap orang yang hilang itu masih hidup, sampai dapat
dibuktikan dengan bukti-bukti bahwa ia telah wafat. Sikap yang diambil ulama
fikih ini berdasarkan kaidah istishab yaitu menetapkan hukum yang berlaku sejak
semula, sampai ada dalil yang menunjukan hukum lain.
Akan tetapi, anggapan masih hidup tersebut tidak bisa
dipertahankan terus menerus, karena ini akan menimbulkan kerugian bagi orang
lain. Oleh karena itu, harus digunakan suatu pertimbangan hukum untuk mencari
kejelasan status hukum bagi si mafqud (para ulama fikih telah sepakat bahwa
yang berhak untuk menetapkan status bagi orang hilang tersebut adalah hakim,
baik untuk menetapkan bahwa orang hilang telah wafat atau belum.
Ada dua macam pertimbangan hukum yang dapat
digunakan dalam mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud, yaitu:
1. Berdasarkan
bukti-bukti yang otentik, yang dibenarkan oleh syariat, yang dapat menetapkan
suatu ketetapan hukum, sebagaimana dalam kaidah: "Tsa bitu bil
bayyinati katssabinati bil mu'aa yanah" artinya, "yang tetap
berdasarkan bukti bagaikan yang tetap berdasarkan kenyataan".
Misalnya, ada dua orang yang adil dan dapat
dipercaya untuk memberikan kesaksian bahwa si fulan yang hilang telah meninggal
dunia, maka hakim dapat menjadikan dasar persaksian tersebut untuk memutuskan
status kematian bagi si mafqud. Jika demikian halnya, maka si mafqud sudah
hilang status mafqudnya. Ia ditetapkan seperti orang yang mati haqiqy.
2. Berdasarkan
tenggang waktu lamanya si mafqud pergi atau berdasarkan
kadaluwarsa. Para ulama berbeda pendapat perihal tenggang waktu untuk
menghukumi/menetapkan kematian bagi si mafqud. Mereka terbagi kedalam beberapa
mazhab:
1. Imam Malik dalam salah satu pendapatnya menetapkan
waktu yang diperbolehkan bagi hakim memberi vonis kematian si mafqud ialah 4
(empat) tahun. Pendapat ini beliau istimbatkan dari perkataan Umar bin Khattab
yang menyatakan: "Setiap isteri yang ditinggalkan oleh suaminya,
sedang dia tidak mengetahui dimana suaminya, maka ia menunggu empat tahun,
kemudian dia ber'iddah selama empat bulan sepuluh hari, kemudian lepaslah
dia...." (HR Bukhari)
2. Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Abu Yusuf dan Muhamad bin
al-Hasan berpendapat bahwa si mafqud boleh diputuskan kematiannya oleh hakim
bila sudah tidak ada kawan sebayanya yang masih hidup. Secara pasti hal
tersebut tidak dapat ditentukan. Oleh sebab itu, beliau menyerahkan kepada
Ijtihad hakim. Hakim dapat memberi vonis kematian si mafqud menurut ijtihad-nya
demi suatu kemashalatan.
3. Abdul Malik Ibnul-Majisyun mefatwakan agar si mafqud
tersebt mencapai umur 90 tahun beserta umur sewaktu kepergiannya. Sebab menurut
kebiasaan, seseorang itu tidak akan mencapai umur 90 tahun. Beliau menyatakan
alasan tersebut berdasarkan Hadits Rasul SAW yang berbunyi "Umur-umur
umatku itu antara 70 dan 60 tahun."
4. Imam Ahmad berpendapat bahwa di dalam menetapkan
status hukum bagi si mafqud, hakim harus melihat "situasi" hilangnya
si mafqud tersebut. manurut beliau situasi hilangnya si mafqud itu dapat
dibedakan atas:
a. Situasi
kepergiannya atau hilangnya itu memungkinkan membawa malapetaka. misalnya dalam
situasi naik kapal tenggelam yang kapalnya pecah dan sebagian penumpannya telah
tenggelam atau dalam situasi peperangan, maka setelah diadakan penyelidikkan
oleh hakim secermat-cermatnya, hakim dapat menetapkan kematiannya setelah lewat
empat tahun lamanya.
b. Situasi kepergiannya itu menurut kebiasaan tidak
sampai membawa malapetaka. misalnya pergi untuk menurut ilmu, ibadah haji, dan sebaginya,
tetapi kemudian ia tidak kembali dan tidak diketahui kabar beritanya lagi dan
dimana domisilinya, maka dalam hal seperti itu diserahkan kepada hakim untuk
menetapkan status bagi si mafqud menurut ijtihad-nya.
Walaupun demikian, praktek pelaksanaannya
di pengadilan agama, bahwa mengenai ada atau tidaknya kewenangan untuk
menetapkan/menghukumi status bagi mafqud tersebut (dengan menyatakan ia telah
meninggal atau belum) masih bersifat masih dapat diperdebatkan (debatable).
Pembagian warisan seseorang
yang dianggap hilang (Mafqud)
Mengenai
pembagain warisan mafqud menurut fikh, Muhammad Abul ’Ula Kholifah mengatakan bahwa ada suatu
prinsip dalam pembagian warisan mafqud, yaitu jika dikaitan dengan harta
pribadinya, dia dianggap sebagai hidup sampai diketahui atau dinyatakan
kematiannya. Jika dikaitkan dengan harta orang lain, dia dianggap wafat,
sehingga dengan demikian dia tidak termasuk ahli waris, sampai ada kejelasan
statusnya, sudah wafatkah dia atau masih hidup. Atas dasar prinsip tersebut,
maka teknis pembagian waris mafqud harus ditempuh melalui dua cara, yaitu:
1. mafqud dianggap masih hidup, sehingga
bagiannya sementara ditunda sampai ada kejelasan statusnya;
2. mafqud dianggap sudah wafat, sehingga
dengan demikian dia bukan sebagai ahli waris.
Karena
demikian adanya, maka perlu diperhatikan keberadaan ahli waris lainnya, yaitu:
1. terhadap ahli waris yang bagiannya tetap
sama dalam dua keadaan tersebut, yakni baik mafqud bersangkutan masih hidup
ataupun sudah wafat, maka kepadanya diberikan bagian secara penuh.
2. terhadap ahli waris yang bagiannya berubah
dalam salah satu dari dua keadaan dimaksud, maka kepadanya diberikan bagian
yang lebih kecil, sedangkan sisanya sementara ditunda sampai ada kejelasan
status mafqud. Jika mafqud bersangkutan ternyata benar-benar masih hidup, maka
ia mengambil bagian yang sementara ditunda itu. Sebaliknya, jika ternyata
mafqud tersebut benar-benar telah wafat, maka bagian yang sementara ditunda itu
diberikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
3. terhadap ahli waris yang belum jelas
status kewarisannya, artinya ia berhak mewaris dalam satu cara, tetapi tidak
berhak mewaris dalam cara yang lain, maka di sini wajib ditunda bagiannya
sampai jelas status mafqud.
Pendapat
yang sama dikemukakan juga oleh Wahbah az-Zuhaily yang menyatakan bahwa teknis
pembagian kewarisan mafqud itu adalah sebagai berikut:
1. jika dia sebagai ahli waris tunggal, tidak
ada ahli waris lain selain dirinya sendiri, maka kewarisan itu ditunda pembagiannya.
2. jika bersama mafqud itu ada ahli waris
lain, maka teknis pembagiannya dilakukan dengan dua cara, yaitu:
§ cara
pertama, mafqud dianggap sebagai masih hidup;
§ cara
kedua, mafqud dianggap sebagai sudah wafat.
Kemudian
kedua asal maslah dari pembagian tersebut disatukan dalam satu pembagian.
Hasilnya, diberikan kepada para ahli waris yang berhak menerimanya, dengan
ketentuan:
1. kepada ahli waris yang memperoleh bagian
samabesar dalam dua keadaan tersebut, diberikan bagiannya secara penuh;
2. kepada ahli waris yang memperoleh bagian
berbeda dalam dua keadaan tersebut, diberikan bagian yang lebih kecil, dan
sisanya sementara ditunda sampai ada kejelasan status mafqud. Jika mafqud itu
ternyata masih hidup, maka sisa bagian yang sementara ditunda itu menjadi
haknya.
Menurut
as-Shobuny, kewarisan mafqud itu ada dua kemungkinan.
§ Pertama,
bersama mafqud ada ahli waris lain yang terhijib oleh mafqud bersangkutan.
Dalam hal ini, maka pembagian warisan belum bisa dilaksanakan karena musti ditunda.
Sebagai contoh adalah X wafat dengan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari
seorang saudara kandung laki-laki, seorang saudara kandung perempuan, dan
seorang anak laki-laki mafqud. Di sini, karena anak laki-laki dari X itu
menghijab saudara, maka pemagian warisan X terhadap ahli waris dimaksud belum
dapat dilaksanakan sampai ada kejelasan status mafqud, apakah dia masih hidup
atau sudah wafat. Jika mafqud masih hidup, maka ia sebagai ahli waris tunggal
dari X dan oleh karena itu, maka warisan X sepenuhnya jatuh kepada mafqud
bersangkutan. Tetapi jika mafqud itu ternyata sudah wafat, maka saudara kandung
laki-laki dan perempuan dari X itulah sebagai ahli warisnya, dan mereka berhak
atas harta peninggalan X
§ Kedua,
bersama mafqud ada ahli waris lain yang sama-sama berhak mewaris. Dalam hal
ini, maka pembagian warisan mafqud dapat dilaksanakan dengan memperhitungkan
kemungkinan masih hidup dan sudah wafatnya mafqud bersangkutan, dengan catatan
bahwa:
o kepada ahli waris yang perolehan bagiannya
sama, tidak berkurang dalam dua`keadaan, baik mafqud itu masih dianggap hidup
ataupun sudah wafat, diberikan bagiannya secara lengkap.
o terhadap ahli waris yang perolehan
bagiannnya berbeda antara dua keadaan, yakni dalam hal mafqud dianggap masih
hidup dan sudah wafat, diberikan bagian yang terkecil dari dua perolehan
dimaksud.
o terhadap ahli waris yang tidak mendapat
perolehan bagian, baik dalam hal mafqud dianggap masih hidup ataupun sudah
wafat, tidak mendapatkan perolehan.
Menurut
faraidweb, apabila seseorang
wafat dan mempunyai ahli waris, dan diantara ahli warisnya ada yang hilang dan
tidak dikenal lagi rimbanya, maka cara pemberian hak warisnya ada dua keadaan:
1.
Ahli waris yang
hilang tersebut sebagai penghalang bagi ahli waris lainnya (yakni termasuk
ashabah tanpa ada satupun ashhabul furudh yang berhak untuk mendapat bagian).
2.
Ahli waris yang
hilang tersebut bukan sebagai penghalang bagi ahli waris lainnya, bahkan ia
sama berhak untuk mendapatkan warisan sesuai dengan bagian atau fardh-nya (yakni
termasuk ashhabul furudh).
Pada keadaan pertama: seluruh
harta warisan peninggalan pewaris dibekukan, yakni tidak diberikan kepada ahli
waris, untuk sementara hingga ahli waris yang hilang tersebut muncul atau
diketahui hidup dan tempatnya. Bila ahli waris yang hilang ternyata masih
hidup, maka dialah yang berhak untuk menerima atau mengambil seluruh harta
warisnya. Namun, bila ternyata hakim telah menetapkannya sebagai orang yang
telah mati, maka harta waris tadi dibagikan kepada seluruh ahli waris yang ada
dan masing-masing mendapatkan sesuai dengan bagian atau fardh-nya.
Sedangkan pada keadaan kedua,
ahli waris yang ada berhak untuk menerima bagian yang paling sedikit di antara
dua keadaan (yakni keadaan hidup dan matinya) orang yang hilang. Bila ahli
waris yang ada, siapa saja di antara mereka yang dalam dua keadaan orang yang
hilang tadi sama bagian hak warisnya, hendaknya ia diberi hak waris secara
sempurna. Namun, bagi ahli waris yang berbeda bagian hak warisnya di antara dua
keadaan ahli waris yang hilang tadi, maka mereka diberi lebih sedikit di antara
kedua keadaan tadi. Namun, bagi siapa saja yang tidak berhak untuk mendapatkan
waris dalam dua keadaan orang yang hilang, dengan sendirinya tidak berhak untuk
mendapatkan harta waris sedikit pun.
Permasalahan yang
berkenaan dengan kewarisan, hingga saat ini belum ada ketentuan-ketentuan kapan
seseorang yang hilang dapat ditentukan statusnya. Oleh karena itu, dalam
menetapkan status bagi si mafqud diperlukan suatu pembuktian yang sangat
cermat. Lalu yang menjadi permasalahan, kapan harta si mafqud dapat diwarisi
oleh para ahli warisnya?
Menurut para ulama,
setelah hakim memutuskan si mafqud telah meninggal dunia pada suatu tanggal
yang ditentukan berdasarkan pada dalil-dalil yang menimbulkan dugaan kuat
kematiannya, maka mafqud itu dipandang meninggal dunia, pada waktu keluarnya
penetapan hakim.
Dengan demikian,
harta peninggalan mafqud diwariskan oleh ahli waris yang ada pada waktu
itu. Para ahli waris yang telah meninggal dunia sebelum adanya penetapan
hakim tidak mewarisinya, karena tidak terpenuhinya syarat kewarisan, yaitu
meninggalnya si pewaris baik secara hakikatnya (mati haqiqy) maupun secara
hukum (mati hukmy). Oleh karena itu, harta warisan yang sudah dibagi dan ketika
si mafqud hadir kembali sudah melampaui 4 (empat) tahun, maka ia tidak bisa
meminta kembali harta warisan yang sudah dibagikan. Apabila si mafqud hadir
sebelum 4 (empat) tahun, maka ia dapat memintakan kembali harta yang belum
dipakai oleh ahli warisnya yang merupakan harta warisan.
Alasan yang dapat dipergunakan untuk menetapkan
mafqudnya seseorang :
1. Tidak ada kabar beritanya dan keluarga tidak tahu
dimana keberadaannya, sudah diusahakan mencari tahu dimana orang mafqud berada.
2. Menurut aturan hukum islam, keberadaan kabar berita
orang mafqud ditunggu antara 4-5 tahun.
3. Jika lewat dari waktu tersebut, maka bisa mengajukan
ke pa untuk menetapkan orang mafqud tersebut mati secara hukmy (hukum).
4. Keluarga sudah berusaha untuk mencari informasi keberadaannya
serta bisa mengumumkannya melalui media elektronik/cetak/pihak berwajib.
Dasar pertimbangan hakim untuk mengabulkan permohonan
penetapan bagi yang mafqud adalah :
1. Bukti-bukti berupa keterangan dari keluarga, media
cetak, elektronik, dan pihak berwajib bahwa orang mafqud sudah diusahakan
mencari keberadaannya.
2. Tenggang waktu menunggu sudah sangat lama.
3. Ada perbuatan hukum yang harus segera keluarga
selesaikan, dan perbuatan hukum tersebut menyangkut hak dan kewajiban orang mafqud
serta keluarganya.
Dalam Hukum Kewarisan
Islam, harta orang yang mafqud disisihkan dan diurus oleh ahli warisnya yang
lebih dekat hubungannya dengan orang mafqud tersebut atau ahli waris yang
dengan suka rela bersedia mengurus sampai si mafqud jelas keberadaannya
ditunggu tenggang waktunya 4-5 tahun. setelah itu barulah diputuskan apakah si
mafqud mati secara hakiki atau secara hukmy, jika sudah jelas statusnya, maka
harta tersebut boleh dibagikan kepada ahli waris lain yang berhak menurut
pembagiannya. Maksud dari adanya tenggang waktu menunggu adalah agar ahli waris
dapat mencari informasi keberadaannya, serta bisa mengumumkannya melalui media
elektronik/cetak/pihak berwajib